Sabtu, 12 Maret 2011

"Cukup Itu Berapa?"


Sebuah renungan :
Alkisah, seorang petani menemukan sebuah mata air ajaib.Mata air itu bisa mengeluarkan kepingan uang emas yang tak terhingga banyaknya.
Mata air itu bisa membuat si petani menjadi kaya raya seberapapun yang diinginkannya, sebab kucuran uang emas itu baru akan berhenti bila si petani mengucapkan kata "cukup".

Seketika si petani terperangah melihat kepingan uang emas berjatuhan di depan hidungnya. Diambilnya beberapa ember untuk menampung uang kaget itu. Setelah semuanya penuh, dibawanya ke gubug mungilnya untuk disimpan disana.
Kucuran uang terus mengalir sementara si petani mengisi semua karungnya, seluruh tempayannya, bahkan mengisi penuh rumahnya. Masih kurang! Dia menggali sebuah lubang besar untuk menimbun emasnya. Belum cukup, dia membiarkan mata air itu terus mengalir hingga akhirnya petani itu mati tertimbun bersama ketamakannya karena dia tak pernah bisa berkata cukup.

Kata yang paling sulit diucapkan oleh manusia barangkali adalah kata "cukup". Kapankah kita bisa berkata cukup?
Hampir semua pegawai merasa gajinya belum bisa dikatakan sepadan dengan kerja kerasnya.
Pengusaha hampir selalu merasa pendapatan perusahaannya masih dibawah target.
Istri mengeluh suaminya kurang perhatian. Suami berpendapat istrinya kurang pengertian. Anak-anak menganggap orang tuanya kurang murah hati.
Semua merasa kurang dan kurang. Kapankah kita bisa berkata cukup?
Cukup bukanlah soal berapa jumlahnya.
Cukup adalah persoalan kepuasan hati. Cukup hanya bisa diucapkan oleh orang yang bisa mensyukuri.
Tak perlu takut berkata cukup.Mengucapkan kata cukup bukan berarti kita berhenti berusaha dan berkarya.
"Cukup" jangan diartikan sebagai kondisi stagnasi, mandeg dan berpuas diri. Mengucapkan kata cukup membuat kita melihat apa yang telah kita terima, bukan apa yang belum kita dapatkan. Jangan biarkan kerakusan manusia membuat kita sulit berkata cukup.
Belajarlah mencukupkan diri dengan apa yang ada pada diri kita hari ini, maka kita akan menjadi manusia yang berbahagia.


10 ciri orang berfikir fositif




Semua orang yang berusaha meningkatkan diri dan ilmu pengetahuannya pasti tahu bahwa hidup kan lebih mudah dijalani bila kita selalu berpikir positif. Tapi, bagaimana melatih diri supaya pikiran positiflah yang 'beredar' di kepala kita, tak banyak yang tahu. Oleh karena itu, sebaiknya kita kenali saja dulu ciri-ciri orang yang berpikir positif dan mulai mencoba meniru jalan pikirannya.
1. Melihat masalah sebagai tantangan
Bandingkan dengan orang yang melihat masalah sebagai cobaan hidup yang terlalu berat dan bikin hidupnya jadi paling sengsara sedunia. 
2. Menikmati hidupnya
Pemikiran positif akan membuat seseorang menerima keadaannya dengan besar hati, meski tak berarti ia tak berusaha untuk mencapai hidup yang lebih baik. 
3. Pikiran terbuka untuk menerima saran dan ide
Karena dengan begitu, boleh jadi ada hal-hal baru yang akan membuat segala sesuatu lebih baik.
4. Mengenyahkan pikiran negatif segera setelah pikiran itu terlintas di benak
Memelihara pikiran negatif lama-lama bisa diibaratkan membangunkan singa tidur. Sebetulnya tidak apa-apa, ternyata malah bisa menimbulkan masalah.
5. Mensyukuri apa yang dimilikinya
Dan bukannya berkeluh-kesah tentang apa-apa yang tidak dipunyainya.  
6. Tidak mendengarkan gosip yang tak menentu
Sudah pasti, gosip berkawan baik dengan pikiran negatif. Karena itu, mendengarkan omongan yang tak ada juntrungnya adalah perilaku yang dijauhi si pemikir positif.
7. Tidak bikin alasan, tapi langsung bikin tindakan
Pernah dengar pelesetan NATO (No Action, Talk Only), kan ? Nah, mereka ini jelas bukan penganutnya. NARO (No Action Review Only), NADO (No Action Dream Only), NATO (No Action Talk Only), NACO (No Action Concept Only), NABO (No Action Briefing Only), NAMO (No Action Meeting Olny), NASO (No Acton Strategy Only) 
8. Menggunakan bahasa positif
Maksudnya, kalimat-kalimat yang bernadakan optimisme, seperti "Masalah itu pasti akan terselesaikan," dan "Dia memang berbakat."
9. Menggunakan bahasa tubuh yang positif
Di antaranya adalah senyum, berjalan dengan langkah tegap, dan gerakan tangan yang ekspresif, atau anggukan. Mereka juga berbicara dengan intonasi yang bersahabat, antusias, dan 'hidup'.  
10. Peduli pada citra diri
Itu sebabnya, mereka berusaha tampil baik. Bukan hanya di luar, tapi juga di dalam.

Pemennya jangan lupa dimakan




Alkisah ada dua orang anak laki-laki, Bob dan Bib, yang sedang melewati lembah permen lolipop.
Di tengah lembah itu terdapat jalan setapak yang beraspal.
Di jalan itulah Bob dan Bib berjalan kaki bersama.
Uniknya, di kiri-kanan jalan lembah itu terdapat banyak permen lolipop yang berwarni-warni dengan aneka rasa.
Permen-permen yang terlihat seperti berbaris itu seakan menunggu tangan-tangan kecil Bob dan Bib untuk mengambil dan menikmati kelezatan mereka.
 
Bob sangat kegirangan melihat banyaknya permen lolipop yang bisa diambil.
Maka ia pun sibuk mengumpulkan permen-permen tersebut.
Ia mempercepat jalannya supaya bisa mengambil permen lolipop lainnya yang  terlihat sangat banyak didepannya.
Bob mengumpulkan sangat banyak permen lolipop yang ia simpan di dalam tas  karungnya.
Ia sibuk mengumpulkan permen-permen tersebut tapi sepertinya permen-permen  tersebut tidak pernah habis maka ia memacu langkahnya supaya bisa mengambil  semua permen yang dilihatnya.
 
Tanpa terasa Bob sampai di ujung jalan lembah permen lolipop.
Dia melihat gerbang bertuliskan "Selamat Jalan".
Itulah batas akhir lembah permen lolipop.
Di ujung jalan, Bob bertemu seorang lelaki penduduk sekitar.
Lelaki itu bertanya kepada Bob, "Bagaimana perjalanan kamu di lembah permen lolipop? Apakah permen-permennya  lezat? Apakah kamu mencoba yang rasa jeruk? Itu rasa yang paling disenangi. Atau kamu lebih menyukai rasa mangga? Itu juga sangat lezat."
Bob terdiam mendengar pertanyaan lelaki tadi.
Ia merasa sangat lelah dan kehilangan tenaga.
Ia telah berjalan sangat cepat dan membawa begitu banyak permen lolipop yang  terasa berat di dalam tas karungnya.
Tapi ada satu hal yang membuatnya merasa terkejut dan ia pun menjawab pertanyaan lelaki itu,  "Permennya saya lupa makan!"
 
Tak berapa lama kemudian, Bib sampai di ujung jalan lembah permen lolipop.
"Hai, Bob! Kamu berjalan cepat sekali. Saya memanggil-manggil kamu tapi kamu sudah sangat jauh di depan saya.
" "Kenapa kamu memanggil saya?" tanya Bob.
"Saya ingin mengajak kamu duduk dan makan permen anggur bersama. Rasanya  lezat sekali. Juga saya menikmati pemandangan lembah, indah sekali!" Bib bercerita panjang lebar kepada Bob.
"Lalu tadi ada seorang kakek tua yang sangat kelelahan. Saya temani dia berjalan. Saya beri dia beberapa permen yang ada di tas saya. Kami makan bersama dan dia banyak menceritakan hal-hal yang lucu. Kami tertawa bersama."  Bib menambahkan.
 
Mendengar cerita Bib, Bob menyadari betapa banyak hal yang telah ia lewatkan  dari lembah permen lolipop yang sangat indah.
Ia terlalu sibuk mengumpulkan permen-permen itu.
Tapi pun ia sampai lupa memakannya dan tidak punya waktu untuk menikmati kelezatannya karena ia begitu sibuk memasukkan semua permen itu ke dalam tas  karungnya.
 
Di akhir perjalanannya di lembah permen lolipop, Bob menyadari suatu hal dan ia bergumam kepada dirinya sendiri, "Perjalanan ini bukan tentang berapa  banyak permen yang telah saya kumpulkan. Tapi tentang bagaimana saya  menikmatinya dengan berbagi dan berbahagia."
Ia pun berkata dalam hati, "Waktu tidak bisa diputar kembali."
Perjalanan di lembah lolipop sudah berlalu dan Bob pun harus melanjutkan  kembali perjalanannya.
 
Dalam kehidupan kita, banyak hal yang ternyata kita lewati begitu saja.
Kita lupa untuk berhenti sejenak dan menikmati kebahagiaan hidup.
Kita menjadi Bob di lembah permen lolipop yang sibuk mengumpulkan permen  tapi lupa untuk menikmatinya dan menjadi bahagia.
 
Pernahkan Anda bertanya kapan waktunya untuk merasakan bahagia?
Jika saya tanyakan pertanyaan tersebut kepada para klien saya, biasanya mereka menjawab,  "Saya akan bahagia nanti... nanti pada waktu saya sudah menikah... nanti pada waktu saya memiliki rumah sendiri... nanti pada saat suami saya lebih  mencintai saya... nanti pada saat saya telah meraih semua impian saya...  nanti pada saat penghasilan sudah sangat besar... "
 
Pemikiran 'nanti' itu membuat kita bekerja sangat keras di saat 'sekarang'.
Semuanya itu supaya kita bisa mencapai apa yang kita konsepkan tentang masa  'nanti' bahagia.
Terkadang jika saya renungkan hal tersebut, ternyata kita telah mengorbankan  begitu banyak hal dalam hidup ini untuk masa 'nanti' bahagia.
Ritme kehidupan kita menjadi sangat cepat tapi rasanya tidak pernah sampai di masa 'nanti' bahagia itu.
Ritme hidup yang sangat cepat... target-target tinggi yang harus kita capai,  yang anehnya kita sendirilah yang membuat semua target itu... tetap semuanya  itu tidak pernah terasa memuaskan dan membahagiakan.
 
Uniknya, pada saat kita memelankan ritme kehidupan kita; pada saat kita duduk menikmati keindahan pohon bonsai di beranda depan, pada saat kita mendengarkan cerita lucu anak-anak kita, pada saat makan malam bersama keluarga, pada saat kita duduk bermeditasi atau pada saat membagikan beras  dalam acara bakti sosial tanggap banjir; terasa hidup menjadi lebih indah.
 
Jika saja kita mau memelankan ritme hidup kita dengan penuh kesadaran; memelankan ritme makan kita, memelankan ritme jalan kita dan menyadari setiap gerak tubuh kita, berhenti sejenak dan memperhatikan tawa indah anak-anak bahkan menyadari setiap hembusan nafas maka kita akan menyadari begitu banyak detil kehidupan yang begitu indah dan bisa disyukuri.
Kita akan merasakan ritme yang berbeda dari kehidupan yang ternyata jauh  lebih damai dan tenang.
Dan pada akhirnya akan membawa kita menjadi lebih bahagia dan bersyukur seperti Bib yang melewati perjalanannya di lembah permen lolipop.

Jangan biarkan arang mu mati




Seorang anggota sidang yang sebelumnya rajin berhimpun sekarang tidak lagi melakukannya.

Setelah beberapa minggu, seorang penatua memutuskan untuk mengunjungi dia. Sore itu cuaca sangat dingin. Sang penatua menemui pria itu di rumahnya sedang duduk sendirian di depan api yang menyala-nyala. Mengira-ngira alasan kunjungan penatua itu, sang pria menyambutnya dan mempersilahkannya duduk di sebuah kursi yang nyaman di dekat perapian dan menunggu.

Sang penatua bersikap seakan di rumahnya sendiri namun tidak mengatakan apa pun. Dalam keheningan dia memandangi dalam-dalam api yang menjilat-jilat kayu bakar. Setelah beberapa menit, sang penatua mengambil pengungkit bara, dengan hati-hati mengangkat sebuah arang yang terang terbakar dan menaruhnya di tepi perapian. Kemudian dia kembali duduk, tetap diam.

Sang tuan rumah memperhatikan semua ini secara mendalam dalam kesunyian. Seraya api arang itu berkedip dan meredup, terjadi kilau sekejap dan kemudian apinya padam. Arang itu segera menjadi dingin dan mati. Tak sepatah kata pun yang terucap sejak salam pertama mereka.

Sang penatua melirik jam tangannya dan menyadari waktunya untuk pulang. Dia perlahan berdiri, mengambil arang yang dingin dan mati itu dan mengembalikannya ke tengah-tengah api. Dengan segera arang itu mulai bersinar sekali lagi berkat nyala dan kehangatan dari bara api di sekelilingnya. Seraya sang penatua berjalan ke pintu untuk pulang, pria itu berkata dalam tangisan, “Terima kasih banyak atas kunjungan Sdr dan khususnya khotbah berapi tadi. Saya akan kembali ke Balai Kerajaan pada perhimpunan berikutnya.”

Ilustrasi ini menunjukkan betapa kita membutuhkan kehangatan Sdr-Sdri kita untuk mencegah diri kita menjadi sendirian, dingin dan akhirnya mati