Sabtu, 12 Maret 2011

Jangan biarkan arang mu mati




Seorang anggota sidang yang sebelumnya rajin berhimpun sekarang tidak lagi melakukannya.

Setelah beberapa minggu, seorang penatua memutuskan untuk mengunjungi dia. Sore itu cuaca sangat dingin. Sang penatua menemui pria itu di rumahnya sedang duduk sendirian di depan api yang menyala-nyala. Mengira-ngira alasan kunjungan penatua itu, sang pria menyambutnya dan mempersilahkannya duduk di sebuah kursi yang nyaman di dekat perapian dan menunggu.

Sang penatua bersikap seakan di rumahnya sendiri namun tidak mengatakan apa pun. Dalam keheningan dia memandangi dalam-dalam api yang menjilat-jilat kayu bakar. Setelah beberapa menit, sang penatua mengambil pengungkit bara, dengan hati-hati mengangkat sebuah arang yang terang terbakar dan menaruhnya di tepi perapian. Kemudian dia kembali duduk, tetap diam.

Sang tuan rumah memperhatikan semua ini secara mendalam dalam kesunyian. Seraya api arang itu berkedip dan meredup, terjadi kilau sekejap dan kemudian apinya padam. Arang itu segera menjadi dingin dan mati. Tak sepatah kata pun yang terucap sejak salam pertama mereka.

Sang penatua melirik jam tangannya dan menyadari waktunya untuk pulang. Dia perlahan berdiri, mengambil arang yang dingin dan mati itu dan mengembalikannya ke tengah-tengah api. Dengan segera arang itu mulai bersinar sekali lagi berkat nyala dan kehangatan dari bara api di sekelilingnya. Seraya sang penatua berjalan ke pintu untuk pulang, pria itu berkata dalam tangisan, “Terima kasih banyak atas kunjungan Sdr dan khususnya khotbah berapi tadi. Saya akan kembali ke Balai Kerajaan pada perhimpunan berikutnya.”

Ilustrasi ini menunjukkan betapa kita membutuhkan kehangatan Sdr-Sdri kita untuk mencegah diri kita menjadi sendirian, dingin dan akhirnya mati